1. Pengertian Kerja
2. Etos Kerja
3. Mitos Kerja
4. Motivasi Kerja
1. Penegrtian Kerja
Pekerjaan adalah usaha yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri atau kebutuhan umum, jadi, orang bekerja itu bertujuan untuk
mempertahankan eksistensi diri sendiri dan keluarganya.
2. Etos Kerja
Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau satu umat terhadap kerja.
Etos kerja dapat dilihat dari lama waktu seseorang dalam bekerja. Sebagai contoh, lihat tabel berikut :
a. Instansi Pemerintah
Senin – Kamis, dari pukul 07.00 – 14.00 Jumat, mulai pukul 07.00 – 11.00 Sabtu, dari pukul 07.00 – 13.00.
Seluruhnya adalah 38 jam per minggu, dalam praktiknya, kantor – kantor
pemerintah, jam kerja hanya berfungsi sekitar 33 jam dalam seminggu.
b. Instansi Swasta
Senin – Kamis, pukul 08.00 – 17.00 dengan istirahat malam 1 jam. Jumat, pukul 08.00 – 17.00 dengan istirahat dua jam.
Bila hari Sabtu diliburkan, jumlah jam kerja baru 33 jam per minggu.
Sedangkan kalau hari Sabtu tidak libur dan bekerja mulai pukul 08.00 –
12.000, jam kerja per minggu menjadi 43 jam.
c. Jam Kerja di Jepang
Jam kerja mulai pukul 08.00 – 17.00 dengan istirahat satu jam untuk makan siang pada Senin – Jumat.
Hari Sabtu mulai pukul 18.00 – 12.00, seluruhnya ada 44 jam kerja per minggu.
Praktiknya, tidak ada kantor yang tutup pada pukul 17.00, pada umumnya
baru berhenti bekerja sekitar pukul 18.00, sehingga jam kerja mencapai
50 jam perminggu. Hal serupa juga ditemui di Korea Selatan.
Bagi negara kita yang sedang membangun, tidak pada tempatnya kita
mempunyai jam kerja yang begitu sedikit untuk kantor dan instansi
pemerintah, termasuk BUMN. Lebih layaklah bila jam kerja resmi
pemerintah menjadi pukul 08.00 hingga pukul 17.00 dengan kesempatan
shalat Jumat dan makan dari pukul 11.30 hingga pukul 13.30, dan hari
Sabtu dari pukul 08.00 hingga pukul 12.00.
Hal itu akan membuat seluruh jam kerja adalah 43 jam dalam seminggu.
Memang itu masih di bawah jam kerja resmi negara Jepang dan Korea
Selatan, namun sudah jauh lebih banyak dari jam kerja sipil saat ini.
Hal–hal tersebut di atas baru dilihat dari sudut jumlah jam kerja,
belum lagi bila dilihat dari sudut mutu kerja dan kesungguhan
menghasilkan pekerjaan yang baik.
Bukan rahasia lagi, bahwa sudah lama dalam masyarakat kita ada penyakit
untuk bekerja “ Asal Jadi “, tanpa ada usaha menghasilkan pekerjaan yang
dapat diandalkan mutunya.
3. Mitos Kerja
Dalam masyarakat kita, masih ditemukan pandangan negatif mengenai kerja.
a. Pengertian Kerja sebagai Sarana
Kerja hanya mempunyai makna sejauh menghasilkan sesuatu. Akibatnya,
kerjanya sendiri tidak bernilai positif. Banyak orang terpaksa bekerja
dan melihatnya sebagai beban hidup, godaan untuk bermalas–malasan
muncul. Bahkan kalau perlu mencari waktu dan kurang sabar menunggu hari
“ Weekend “.
Sikap ini mempunyai latar belakang, yakni pengabdian yang salah terhadap makna kerja.
Yang dirasakan bukanlah pernyataan diri selaku manusia, melainkan
suatu tujuan dan yang ada di luar bidang kerjanya sendiri. Patahnya
semangat kerja muncul karena kerja dianggap sebagai sarana saja untuk
mencari nafkah, ingin cepat kaya, ambisi, gengsi, status sosial dan
sebagainya.
b. Pandangan Kerja Sebagai Nasib
Kerja dirasakan sebagai kewajiban bawaan yang tidak dapat dipungkiri.
Tidak ubahnya dalam kerajaan Romawi yang menggolongkan masyarakat dalam
kelas budak dan kelas tuan.
Pandangan seperti ini memberi legitimasi kaum budak mempunyai kodrat
untuk bekerja berat. Kerja masih saja dilihat sebagai nasib bawaan, yang
tidak bisa diubah selama manusia hidup di dunia.
4. Motivasi Kerja
Dalam pengertian umum, motivasi diartikan sebagai kebutuhan yang
mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu atau sesuatu yang
melatar belakangi individu untuk berbuat mencapai tujuan tertentu.
Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau
dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja dalam psikologi kerja
biasa disebut pendorong semanagt kerja. Kuat dan lemahnya motivasi kerja
seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya.
Dua Golongan Kebutuhan Manusia
a. Kebutuhan Primer ( Kebutahan Utama ), seperti lapar, haus, seks,
tidur, suhu yang menyenangkan, kebutuhan tersebut sudah ada sejak lahir,
sehingga disebut kebutuhan primer.
b. Kebutuhan Sekunder, yang timbul dari interaksi antara orang dengan
lingkungannya seperti kebutuhan untuk bersaing, bergaul, bercinta,
ekspresi diri, harga diri. Kebutuhan sekunder inilah yang paling banyak
berperan dalam motivasi seseorang.
Ciri – Ciri motif individu, sebagai berikut :
a. Motif adalah Majemuk
Seorang karyawan yang melakukan kerja dengan giat, tidak hanya karena ia
ingin naik pangkat, tetapi juga ingin diakui atau dipuji, mendapat upah
yang tinggi.
Jadi ia melakukan tidak hanya untuk satu tujuan, tetapi untuk beberapa tujuan yang berlangsung secara bersama–sama.
b. Motif dapat Berubah –ubah
Motif yang sering mengalami perubahan, karena keinginan selalu
berubah–ubah sesaui dengan kebutuhan dan kepentingannya. Misalnya,
seorang karyawan pada suatu saat menginginkan gaji yang tinggi, pada
saat yang lain dia menginginkan pimpinan yang baik atau kondisi kerja
yang menyenangkan. Motif sangat dinamis dan geraknya mengikuti
kepentingan–kepentingan individu.
c. Motif Berbeda–beda bagi Individu
Dua orang yang melakukan pekerjaan yang sama ternyata memiliki motif
yang berbeda. Misalnya, dua orang karyawan yang berkerja pada satu
perusahaan yang sama dan pada ruang yang sama pula, motivasinya dapat
berbeda. Yang seorang menginginkan teman sekerja yang baik, sedangkan
yang lain menginginkan kondisi kerja yang menyenangkan.
d. Beberapa Motif Tidak Disadari oleh Individu
Banyak tingkah laku yang tidak disadari oleh pelakunya, sehingga
beberapa dorongan yang muncul karena berhadapan dengan situasi yang
kurang menguntungkan, lalu ditekan di bawah sadarnya. Dengan demikian
kalau ada dorongan dari dalam yang kuat membuat individu tersebut tidak
bisa memahami motifnya sendiri.
Orang yang dibutuhkan oleh organisasi adalah orang yang bekerja dengan motivasi yang tinggi.
Ada perbedaan antara orang yang bermotif untuk bekerja dengan orang yang
bekerja dengan motivasi yang tinggi. Orang yang bermotif untuk bekerja,
ia bekerja hanya karena harus memenuhi kebutuhan–kebutuhannya yang
vital bagi diri dan keluarganya seperti untuk mendapatkan jaminan
kesehatan dan hari tua, status atau untuk memperoleh pengalaman yang
menyenangkan baginya. Pekerjaan yang menyenangkan dan menarik, belum
tentu akan memberikan kepuasan baginya dalam menjalankan tugas–tugasnya.
Sedangkan orang yang bekerja dengan motivasi yang tinggi adalah orang
yang merasa senang dan mendapatkan kepuasan dalam pekerjaanya. Ia akan
lebih berusaha untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan semangat yang
tinggi, serta selalu berusaha mengembangkan tugas dan dirinya.
Manajer yang arif dalam mendayagunakan karyawan, menempatkan dan
memandang manusia sebagai sumber daya yang sangat berharga. Karena pada
mereka terletak kekuatan yang nyata, yang dinamis, sebagai sasaran dan
harapan organisasi berhasil atau tidak.
Memotivasi Atasan
Pemikiran tentang bagaimana “ mengatur “ atasan sekilas kedengarannya
sebagai suatu hal yang mustahil. Sebab kebanyakan orang termotivasi
oleh kepentingan diri mereka. Ini tidak berarti bahwa orang akan selalu “
Self Centered “, namun lebih dari itu mereka akan lebih tertarik pada
pemenuhan kebutuhan pribadinya.
Seorang atasan tentu saja akan lebih tertarik mencari pemenuhannya
daripada membantu para bawahannya, memuaskan kebutuhan mereka. Oleh
sebab itu, bawahan yang secara aktif berusaha membuat atasan mereka
menaruh perhatian terhadap hubungan antara kebutuhan bawahan dengan
kebutuhan atasan, akan lebih menemukan kepuasan dalam lingkungan
kerjanya.
Motivasi, merupakan jalan dua arah, bawahan yang memiliki kebutuhan
untuk meningkatkan diri dalam organisasi atau yang menginginkan
pencapaian tingkat kebutuhannya yang lebih tinggi, tidak akan menjadi
puas hanya dengan pasif, menunggu, dan menunggu belaka. Bawahan yang
secara aktif memotivasi “ mengatur “ atasan mereka akan lebih dapat
merasakan bahwa atasan memberi penghargaan dan memotivasi mereka secara
lebih, seiring dengan perjalanan waktu. Efek berikutnya, adalah
berantai, bawahan memotivasi atasan untuk memotivasi bawahannya.
Ada beberapa situasi yang dapat dijadikan titik tolak dan pokok
pemikiran mengapa seorang bawahan perlu “ mengatur “ atasan mereka :
a. Jika atasan tidak atau kurang mampu
Hal ini dapat terjadi, baik karena keterbatasan secara teknis maupun
manajerial. Hingga akhirnya dapat mengakibatkan terhambatnya atau bahkan
terhalanginya bawahan dalam melakukan tugas dan kewenangannya dalam
pekerjaannya.
Di hadapkan pada situasi demikian, bawahan mesti secara aktif mengambil langkah untuk mulai “ mengatur dirinya sendiri. “
b. Atasan tidak memiliki motivasi untuk mengembangkan bawahan
Ada atasan yang begitu “ mencintai “ bawahannya. Hingga mereka merasa
begitu sayang jika melepaskan mereka untuk meniti jenjang dan jalur
kinerja yang lebih tinggi. Atasan semacam ini begitu puas dengan pola
kerja yang sudah ditunjukkan bawahannya selama ini, bahkan atasan tidak
lagi dapat bekerja dengan baik tanpa si bawahan tadi. Dunia sang atasan
akan menjadi kelabu dan manakala ia harus merelakan bawahan tersayangnya
pergi dan diganti dengan yang lain.
Bawahan yang terlibat pada situasi demikian harus meyakinkan atasan,
bahwa dengan memberikan bantuan dan penghargaan bagi pengembangan diri
bawahan akan lebih dicapai kepuasan. Baik oleh bawahan maupun bagi
atasan.
c. Ada sebagian manusia yang merasa tidak pasti dan kurang aman dengan kemampuan mereka
Mereka tidak dapat sepenuhnya mengendalikan aktifitas yang terjadi di
lingkungan kerjanya. Mereka juga merasa tidak dapat memberikan bantuan,
dorongan, bimbingan untuk para bawahan mereka. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh iklim dan kultur organisasi di mana atasan– bawahan
bekerja. Organisasi yang menganut falsafah tertutup impersonal dan
autoritatif akan lebih mendorong timbulnya para atasan yang “ mantap di
dalam ketidakmantapannya. “ Bawahan pada situasi demikian dapat
meyakinkan atasannya bahwa ia tetap memiliki kendali dan mampu
melakukannya pada situasi kerja bagian yang dibawahinya. Caranya dengan
memotivasi atasan melalui pemberian bantuan ( real dan
oril ) yang diperlukan untuk itu.
d. Bawahan tidak jarang menjumpai atasan yang begitu gemarr melakukan segala sesuatunya sendiri.
Hal ini memang dapat terjadi karena “ pengalaman masa lalu “ sang atasan
atau karena ia begitu perhatian dengan kebutuhan individu, atau juga
karena atasan begitu ingin menjamin kepuasan manajemen puncak. Bawahan
yang memiliki atasan demikian harus “ mengajarkan “ bahwa dengan
memberikan tugas pada bawahan, dengan memberikan imbalan dan penghargaan
untuk bawahan, prestasi atasan juga akan meningkat dan oleh kesananya
akan menjadi lebih baik.
Situasi terbaik bagi bawahan untuk “ mengatur “ atasan adalah jika
prestasi kerja atasan mereka diukur dari sejauh mana bawahan
berprestasi.
Pada situasi ini, bawahan dapat memantau sejauh mana penghargaan yang
diberikan organisasi kepada atasan mereka. Jika atasan beranggapan dan
percaya bahwa penghargaan yang mereka terima akan sangat dipengaruhi
oleh bagaimana bawahan menunjukkan prestasinya, bawahan dapat dengan
mudah dan efektif dalam usaha “ mengatur “ atasan mereka.
Sebagimana atasan memotivasi bawahan, bawahan pun perlu memotivasi
atasan mereka. Hukum belajar akan berlaku dalam proses ini. Jika atasan
menunjukkan perilaku yang diharapkan bawahan, kukuhkanlah perilaku itu.
Perilaku yang diberi pengukuh akan cenderung diulang. Hal ini tidak
saja terjadi pada bawahan, tetapi juga atasan.
5. Keselamatan Kerja
Bekerja adalah sesuatu yang manusiawi, sehingga seseorang yang tidak bekerja, menjadi tidak lengkap.
Bekerja tidak saja untuk mendapatkan penghasilan yang layak untuk
menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk memenuhi
tuntutan kemanusiaannya, bahkan untuk memuliakan pribadinya sebagai
manusia. Karena itu, seseorang penganggur selalu menderita, tidak saja
karena ia tidak memperoleh penghasilan, tetapi juga karena dalam lubuk
hatinya ia merasa seperti “ tidak dimanusiakan “, tidak dianggap berguna
bagi masyarakat.
Tetapi itu tidak berarti, bahwa seorang manusia yang kodratnya memang
memerlukan pekerjaan, lantas boleh diperlakukan sekehendaknya sendiri
oleh pihak–pihak yang bisa menyediakan lapangan kerja.
Pihak pemberi kerja pun berkewajiban menghormati harkat martabat para
pekerjanya sebagai manusia. Dan ini berarti, memberinya imbalan yang
sesuai dengan kemampuan profesionalnya, dan memperlakukannya secara
manusiawi.
Tentu saja pemberian imbalan kepada para karyawan itu, disesuaikan
dengan daya kemampuan dari kegiatan usaha si pemberi kerja, yang juga
harus mengupayakan kelestarian usahanya. Tetapi bagaimanapun, ia tidak
boleh mengorbankan kesejahteraan para pekerjanya.
Termasuk pula tuntutan dari “ perlakuan manusiawi “ itu ialah,
penciptaan lingkungan kerja dan pengadaan sarana–sarana yang dapat
menjamin keselamatan serta kesehatan para pekerja. Tersedianya
lingkungan kerja dan sarana kerja yang memadai itu mesti dibarengi
pula dengan kesediaan para pekerja sendiri untuk mematuhi
ketentuan–ketentuan yang berkaitan dengan penggunaan sarana kerja.
Bila ketentuan–ketentuan itu dilanggar dapat menyebabkan pekerja
terganggu kesehatannya atau malah tertimpa kecelakaan, walaupun sarana
kerja yang disediakan sudah memadai, kalau seorang pekerja las misalnya
tidak mau menggunakan “ kacamata pelindung “ yang sudah disediakan, ia
tidak saja dapat terluka matanya, tetapi malah dapat menjadi buta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarnya Mana ?